Bicara tentang ilmu sudah bukan
barang yang langka. Konsep iman, ilmu, dan amal sering dijumpai di
kajian-kajian keislaman. Di acara Tabligh Akbar, Tarbiyah Tsaqafiyah (Tatsqif),
Halaqah, mentoring dan acara kajian islam lainya, hampir semuanya
pernah menyajikan tema tentang ilmu, minimal menyinggung pentingnya ilmu. Kajian
yang bisa membuat bosan atau malah semakin semangat, walaupun terkadang
semangatnya sesaat. Rasa bosan & semangat sesaat yang perlu dicari sebabnya
dan ditemukan solusinya. Untuk mendapatkan semangat yang hakiki, seorang muslim
hendaknya memperbaiki niat hanya karena Allah Ta’ala dan mencari ridha-Nya.
Kondisi
umum saat ini

Apalagi dengan sebagian kondisi pendidikan
di Indonesia. Pendidikan yang masih mengadopsi Peradaban Barat (mulai
berkembang pada masa pertengahan di Eropa) yang tujuan utamanya adalah materi, yang
jauh dari nilai-nilai agama. Tak heran jika tawuran dimana-mana, plagiarisme
mewabah dan korupsi membudaya. Pendidikan seharusnya hasilkan manusia-manusia
terdidik baik otak maupun akhlak. Sebaiknya tidak terlalu larut dengan
membeberkan kondisi rusaknya kondisi dunia semata. Waktu yang tersedia akan
sia-sia jika meratapi tanpa memperbaiki. Pikiran akan percuma jika dijejali
masalah bertubi-tubi tanpa solusi dan aksi.
Belajar
dari Kisah Ulama Terdahulu dalam Menuntut Ilmu
Selain
mempelajari sejarah para Nabi dan Rasul, Rasulullah shalaLlahu ‘alaihi
wassalam beserta sahabat, selayaknya seorang penuntut ilmu juga mempelajari
sejarah ulama. Karena ulama adalah pewaris para nabi. Mungkin tidak banyak
kitab/buku yang menuliskan secara detail ulama tertentu, akan tetapi melalui
rampai hikmah dan petikan kisahnya bisa didapat dalam buku-buku ulama
penerusnya.
Dimulai ketika dalam masjid sudah
tidak bisa menampung para penuntut ilmu, yang akhirnya perlu tempat khusus
untuk belajar ilmu agama ataupun ilmu bermanfaat lainnya. Kemudian terbentuklah
Madrasah-madrasah hingga berkembang. Cabang-cabang ilmu pada saat itu
juga mulai berkembang dengan pesat; selain ilmu kalam, hadits, dan fiqh,
mantiq, filsafat juga ilmu-ilmu alam seperti kedokteran, astronomi, kimia,
matematika dan lainnya. Hingga banyak ulama yang ahli diberbagai bidang. Bahkan
ada ilmuwan eropa mengakui bahwa lebih dari 70% ilmu pengetahuan yang
berkembang di Barat berasal dari (sumbangsih) perkembangan pengetahuan umat
islam.
Renungkan betapa tradisi ilmu umat
islam dahulu sangat kokoh. Sebagai contoh ialah dalam ilmu hadits, sangat
begitu berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Dari perawinya, matan-nya,
hingga sampai pada ucapan dari RasuluLlah. Banyak para ulama yang pada usia
dini sudah hafal Al-Qur’an, seperti Imam Syafi’i (pada usia 7 tahun, versi lain
9 tahun) dan sudah . Imam Al-Ghazali dengan karya masyhurnya yaitu; Ihya
‘Ulumuddin. Ibnu Hajar Al-Atsqalani dengan karya syarahnya (Fathul Bari –
Syarah shahih bukhari) yang sampai saat
ini belum “tertandingi” oleh ulama manapun.
Semangat menerapkan tradisi ilmu
dari ulama begitu berkesan. Mereka menuntut ilmu bukan dengan tujuan gelar dan
kemasyhuran. Bukan dengan tujuan untuk menunjukan dirinya paling berilmu. Bukan
pula dengan tujuan harta/benda yang bersifat duniawi dan puja-puji. Semangat
mereka karena keimanan yang kokoh, akhlak yang mulia dan niat yang lurus.
Pengorbanan ulama tidak hanya
tenaga, akan tetapi waktu dan harta bahkan jiwanya. Ada ulama yang sampai
menjual genting-genting rumahnya untuk bekal menuntut dan menyebarkan ilmu.
Atau seperti Imam Malik yang malah memberi bekal kepada murid-muridnya. Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah yang banyak menghabiskan waktu bersama gurunya (Ibnu
Taimiyah). Imam Nawawi yang habiskan waktu-waktu malamnya untuk mempelajari dan
memahami ilmu. Imam Bukhari yang relakan tenaga, waktu, dan hartanya untuk
mencari dan mengumpulkan hadits ke berbagai wilayah bahkan berbagai penjuru
dunia. Dan banyak kisah-kisah ulama yang patut kita cari dan resapi hikmah
didalamnya.
Upaya
Mencapai Semangat Hakiki itu
Paling
utama dan pertama ialah memperbaiki niat dan tujuan. Niat hanya karena Allah
dan mencari Ridha-Nya. Meskipun kadang kondisi umum beberapa dari kita terselip
niat-niat lain atau tujuan lain, karena alasan untuk memacu tahap awal. Hal ini
harus ada pelurusan dan perbaikan. Bagi penulis sangatlah susah, tapi
sebaiknnya sebagai seorang muslim harus dan terus berupaya untuk memperbaiki
niat-niat dan tujuan di segala aktifitas.
Perbaiki akhlak/adab-adab dalam
menuntut ilmu. Ulama terdahulu dalam masalah adab salah satu yang sangat
diprioritaskan. Kutipan hikmah dari seorang tokoh Thabi’in yaitu Abdullah Ibnul
Mubarak: “ Belajarlah adab sebelum belajar ilmu, tidak bermanfaat ilmu kecuali
dengan adab. Seandainya mati dalam mempelajari adab sebelum sempat menuntut
ilmu, niscaya cukup dalam menghadap (berhadapan) Allah Ta’alaa”. Bahkan dari
50.000 muridnya Imam Ahmad ketika di
Baghdad yang mencatat (mempelajari) ilmu hanya 500 orang, selebihnya 49.500
muridnya mempelajari adab. Itulah sepintas hikmah dan kisah yang menggambarkan
betapa pentingnya akhlak/adab dalam menuntut ilmu.
Menggunakan konsep Imam Al-Ghazali
tentang hukum menuntut ilmu; Fardhu ‘Ain (ilmu yang wajib bagi setiap muslim)
dan Fardhu Kifayah (ilmu yang wajib bagi sebagian muslim). Dan dunia kampus
umum adalah bagian tempat pencapaian ilmu fardhu kifayah. Sehingga, bagi
mahasiswa muslim harus berusaha menjadi pribadi-pribadi yang kompeten (ahli)
dalam bidang yang ditekuninya. Mahasiswa muslim memiliki rasa tanggung jawab
terhadap ilmu yang ditekuni untuk kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, mari kita bersama
perbaiki cara pandang dalam menuntut ilmu dengan cara pandang islam (islamic
worldview), sehingga manjadi bagian dari pondasi-pondasi peradaban islam.
Karena peradaban islam akan tercapai kembali dengan tradisi ilmu yang kokoh.
Semoga Allah menuntun kita dalam naungan cahaya-Nya. Aamiin..
Wallahu
a’lam bish-shawab..
Taufiq
Hidayat (Mahasiswa ITP UNSOED 2009/Kader Gamais)
Referensi:
Posting Komentar