Home » » MENCARI SEMANGAT (MENUNTUT) ILMU YANG HILANG

MENCARI SEMANGAT (MENUNTUT) ILMU YANG HILANG

Written By Unknown on Minggu, 06 Oktober 2013 | 14.36

      Bicara tentang ilmu sudah bukan barang yang langka. Konsep iman, ilmu, dan amal sering dijumpai di kajian-kajian keislaman. Di acara Tabligh Akbar, Tarbiyah Tsaqafiyah (Tatsqif), Halaqah, mentoring dan acara kajian islam lainya, hampir semuanya pernah menyajikan tema tentang ilmu, minimal menyinggung pentingnya ilmu. Kajian yang bisa membuat bosan atau malah semakin semangat, walaupun terkadang semangatnya sesaat. Rasa bosan & semangat sesaat yang perlu dicari sebabnya dan ditemukan solusinya. Untuk mendapatkan semangat yang hakiki, seorang muslim hendaknya memperbaiki niat hanya karena Allah Ta’ala dan mencari ridha-Nya.
Kondisi umum saat ini
      Kondisi saat ini sangat berbeda jauh dengan salafusshaleh (para Pendahulu yang Shaleh). Dari kualitas ibadah sampai pada karya-karyanya. Sekarang tidak sedikit di kalangan ummat islam sendiri terdapat tulisan-tulisan yang berisi hujatan, saling “serang” buku dengan buku, “memberendel” karya ulama terdahulu, seolah merasa paling benar sendiri. Tak heran jika terdapat karya (kitab-kitab) yang berisi hanya berupa ulasan, kutipan, komentar, atau bahkan terdapat cacian yang tertuju pada sifat tajassus tanpa akhlak dan dasar yang kokoh. Melenceng dari tradisi ilmu akan melahirkan liberalis-liberalis baru karena menolak otoritas ulama, melahirkan sekuleris-sekuleris baru karena memisahkan kehidupan dan agama.
     Apalagi dengan sebagian kondisi pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang masih mengadopsi Peradaban Barat (mulai berkembang pada masa pertengahan di Eropa) yang tujuan utamanya adalah materi, yang jauh dari nilai-nilai agama. Tak heran jika tawuran dimana-mana, plagiarisme mewabah dan korupsi membudaya. Pendidikan seharusnya hasilkan manusia-manusia terdidik baik otak maupun akhlak. Sebaiknya tidak terlalu larut dengan membeberkan kondisi rusaknya kondisi dunia semata. Waktu yang tersedia akan sia-sia jika meratapi tanpa memperbaiki. Pikiran akan percuma jika dijejali masalah bertubi-tubi tanpa solusi dan aksi.
Belajar dari Kisah Ulama Terdahulu dalam Menuntut Ilmu
    Selain mempelajari sejarah para Nabi dan Rasul, Rasulullah shalaLlahu ‘alaihi wassalam beserta sahabat, selayaknya seorang penuntut ilmu juga mempelajari sejarah ulama. Karena ulama adalah pewaris para nabi. Mungkin tidak banyak kitab/buku yang menuliskan secara detail ulama tertentu, akan tetapi melalui rampai hikmah dan petikan kisahnya bisa didapat dalam buku-buku ulama penerusnya.
     Dimulai ketika dalam masjid sudah tidak bisa menampung para penuntut ilmu, yang akhirnya perlu tempat khusus untuk belajar ilmu agama ataupun ilmu bermanfaat lainnya. Kemudian terbentuklah Madrasah-madrasah hingga berkembang. Cabang-cabang ilmu pada saat itu juga mulai berkembang dengan pesat; selain ilmu kalam, hadits, dan fiqh, mantiq, filsafat juga ilmu-ilmu alam seperti kedokteran, astronomi, kimia, matematika dan lainnya. Hingga banyak ulama yang ahli diberbagai bidang. Bahkan ada ilmuwan eropa mengakui bahwa lebih dari 70% ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat berasal dari (sumbangsih) perkembangan pengetahuan umat islam.
       Renungkan betapa tradisi ilmu umat islam dahulu sangat kokoh. Sebagai contoh ialah dalam ilmu hadits, sangat begitu berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Dari perawinya, matan-nya, hingga sampai pada ucapan dari RasuluLlah. Banyak para ulama yang pada usia dini sudah hafal Al-Qur’an, seperti Imam Syafi’i (pada usia 7 tahun, versi lain 9 tahun) dan sudah . Imam Al-Ghazali dengan karya masyhurnya yaitu; Ihya ‘Ulumuddin. Ibnu Hajar Al-Atsqalani dengan karya syarahnya (Fathul Bari – Syarah shahih bukhari)  yang sampai saat ini belum “tertandingi” oleh ulama manapun.
      Semangat menerapkan tradisi ilmu dari ulama begitu berkesan. Mereka menuntut ilmu bukan dengan tujuan gelar dan kemasyhuran. Bukan dengan tujuan untuk menunjukan dirinya paling berilmu. Bukan pula dengan tujuan harta/benda yang bersifat duniawi dan puja-puji. Semangat mereka karena keimanan yang kokoh, akhlak yang mulia dan niat yang lurus.
        Pengorbanan ulama tidak hanya tenaga, akan tetapi waktu dan harta bahkan jiwanya. Ada ulama yang sampai menjual genting-genting rumahnya untuk bekal menuntut dan menyebarkan ilmu. Atau seperti Imam Malik yang malah memberi bekal kepada murid-muridnya. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah yang banyak menghabiskan waktu bersama gurunya (Ibnu Taimiyah). Imam Nawawi yang habiskan waktu-waktu malamnya untuk mempelajari dan memahami ilmu. Imam Bukhari yang relakan tenaga, waktu, dan hartanya untuk mencari dan mengumpulkan hadits ke berbagai wilayah bahkan berbagai penjuru dunia. Dan banyak kisah-kisah ulama yang patut kita cari dan resapi hikmah didalamnya.
Upaya Mencapai Semangat Hakiki itu
      Paling utama dan pertama ialah memperbaiki niat dan tujuan. Niat hanya karena Allah dan mencari Ridha-Nya. Meskipun kadang kondisi umum beberapa dari kita terselip niat-niat lain atau tujuan lain, karena alasan untuk memacu tahap awal. Hal ini harus ada pelurusan dan perbaikan. Bagi penulis sangatlah susah, tapi sebaiknnya sebagai seorang muslim harus dan terus berupaya untuk memperbaiki niat-niat dan tujuan di segala aktifitas.
        Perbaiki akhlak/adab-adab dalam menuntut ilmu. Ulama terdahulu dalam masalah adab salah satu yang sangat diprioritaskan. Kutipan hikmah dari seorang tokoh Thabi’in yaitu Abdullah Ibnul Mubarak: “ Belajarlah adab sebelum belajar ilmu, tidak bermanfaat ilmu kecuali dengan adab. Seandainya mati dalam mempelajari adab sebelum sempat menuntut ilmu, niscaya cukup dalam menghadap (berhadapan) Allah Ta’alaa”. Bahkan dari 50.000 muridnya Imam Ahmad ketika  di Baghdad yang mencatat (mempelajari) ilmu hanya 500 orang, selebihnya 49.500 muridnya mempelajari adab. Itulah sepintas hikmah dan kisah yang menggambarkan betapa pentingnya akhlak/adab dalam menuntut ilmu.
       Menggunakan konsep Imam Al-Ghazali tentang hukum menuntut ilmu; Fardhu ‘Ain (ilmu yang wajib bagi setiap muslim) dan Fardhu Kifayah (ilmu yang wajib bagi sebagian muslim). Dan dunia kampus umum adalah bagian tempat pencapaian ilmu fardhu kifayah. Sehingga, bagi mahasiswa muslim harus berusaha menjadi pribadi-pribadi yang kompeten (ahli) dalam bidang yang ditekuninya. Mahasiswa muslim memiliki rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang ditekuni untuk kemaslahatan umat.
       Oleh karena itu, mari kita bersama perbaiki cara pandang dalam menuntut ilmu dengan cara pandang islam (islamic worldview), sehingga manjadi bagian dari pondasi-pondasi peradaban islam. Karena peradaban islam akan tercapai kembali dengan tradisi ilmu yang kokoh. Semoga Allah menuntun kita dalam naungan cahaya-Nya. Aamiin..
Wallahu a’lam bish-shawab..
Taufiq Hidayat (Mahasiswa ITP UNSOED 2009/Kader Gamais)
Referensi:
            - www.insistnet.com
            - www.radiokrph.com
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Gamais Faperta UNSOED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger