Akhlak seorang mukmin adalah khas. Sulit, atau hampir mustahil,
didapatkan pada orang kafir. Misalnya, suka mencela dan melaknat, adalah bukan
kebiasaan orang muslim. Ada juga sifat yang lebih khas lagi, tidak ditemukan
kecuali pada seorang hamba yang mukmin.
Hal ini terkait dalam menyikapi suatu
hal dalam kehidupan di dunia ini. Kondisi peristiwa dunia kalau tidak
menjadikan seseorang menjadi senang dan gembira berarti sebaliknya akan
menjadikannya sedih dan berduka. Artinya ada sesuatu yang disukai dan ada pula
yang dibenci. Keumuman orang adalah mengikuti segala sesuatu yang dirasakan
enak dan menyenangkan, sementara yang membuat tidak enak dan berat cenderung
ditinggalkan. Sebenarnya ada sebuah misteri di balik sesuatu yang menyenangkan
dan menyedihkan. Sesuatu yang dibenci tidak selalu mendatangkan keburukan,
bahkan tidak jarang membuahkan kebahagiaan dan kebaikan. Sementara hal yang
banyak disukai tidak selalu memberikan kebaikan dan kebahagiaan, bahkan sering
yang justru mengakibatkan kesedihan dan kesengsaraan. Allah swt berfirman :

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu
padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu padahal dia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Berkata
Ibnu Katsir, “Kandungan ayat ini umum untuk segala permasalahan, terkadang
seseorang menyukai sesuatu sementara padanya tidak terdapat kebaikan dan
maslahat di dalamnya. Dia (Allah) lebih mengetahui daripada kalian tentang akibat
semua perkara. Dia telah mengabarkan perkara yang bermanbermanfaat dan
mashlahat di dalam urusan dunia dan akhirat kalian. Untuk itu sambutlah
seruan-nya dan tunduklah dengan melaksanakan perintah-Nya. Mudah-mudahan kalian
menjadi orang yang mendapatkan petunjuk.” (Tafsir al-Quran al-‘Azhim oleh
Ibnu Katsir (1/253)).
Dari
ayat ini bisa disimpulkan, sebagaimana kata Ibnul Qayim, terkadang sesuatu yang
dibenci justru datang membawa kebaikan yang dicintai, sedangkan sesuatu yang
dicintai justru datang membawa keburukan yang dibenci. Oleh karena itu sudah
selayaknyalah kita merasa khawatir dan tidak aman, jangan-jangan kesenangan
yang kita rasakan selama ini hakekatnya adalah keburukan dan mafsadat baik
kita, buruk akibatnya di belakang hari. Sebaliknya musibah dan kesusahan yang
yang tidak kita sukai justru hakekatnya adalah kebaikan dan maslahat bagi kita,
baik akibatnya di belakang hari.
Sebagaimana
telah dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Sa’di dalam tafsirnya, intinya
bahwa ‘kebanyakan yang terjadi pada seorang mukmin yang bertakwa jika tengah
mencintai sesuatu kemudian Allah swt jadikan sebuah penghalang antara dirinya
dengan hal yang dicintainya berarti hakekatnya lebih baik bagi , bahkan
merupakan salah satu bentuk kasih sayang dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang
bertakwa. Bisa jadi di belakang semua itu ada kebaikan dan manfaat lebih besar
yang hendak dianugerahkan oleh-Nya atau ada bahaya dan kerugian lebih besar
yang hendak dijauhkan darinya.
Kunci
untuk mengindera sehingga bisa diketahui apakah sesuatu yang sedang didapatkan
dan dirasakan oleh seorang hamba yang mukmin merupakan kebaikan hakiki atau
sebaliknya adalah: “Jika perkara yang tidak disukai oleh seorang hamba itu akan
menyebabkannya menjadi taat kepada Allah, maka berarti hakekatnya merupakan
perkara yang hakiki meskipun berat dirasakannya. Sebaliknya jika perkara yang
dicintai oleh seorang hamba menyebabkan dirinya justru menjadi semakin jauh
dari Allah bahkan menambah kedurhakaannya berarti itu sebenarnya merupakan
keburukan, bukan kebaikan meski terasa menyenangkan.”
Di
antara faedah yang bisa diambil dari ayat ini adalah:
1. Sesuatu yang paling semangat untuk
dilakukan oleh seorang hamba adalah melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-Nya.
Mengapa
demikian? Karena tidak ada perkara yang lebih bermanfaat dari melaksanakan
perintah Allah
swt, walaupun berat di awal kali melakukannya
namun di akhirnya akan terasa kebaikan, kelezatan dan kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Tidak ada sebuah perintah pun yang dilakukan oleh seorang hamba
melainkan isinya merupakan maslahat murni atau maslahatnya jauh lebih besar
dibanding kerugian duniawi. Demikian pula tidak ada sesuatu yang lebih
berbahaya dan merugikan dari melekukan larangan walaupun jiwa menyukainya dan
condong kepadanya, namun akibat di belakangnya semuanya berupa kepedihan,
kesedihan, dan musibah. Tidak ada sesuatu yang dilarang dalam syariat kecuali
isinya kemudharatan atau mudharatnya lebih besar dari keuntungan duniawi.
Akal
sehat dan fitrah yang lurus lebih memilih untuk menahan kepedihan dan kepayahan
yang sedikit dan sebentar demi terjauhkan dari kepedihan adzab dan kerugian
yang lebih besar dan berkepanjangan. Hati yang bersih lebih suka untuk tidak
menikmati kesenangan dan kelezatan yang sedikit dan sesaat demi untuk mendapatkan
kenikmatan yang tak terhingga dan abadi. Disebutkan sebuah riwayat dari Abu
Hurairah a, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,“Neraka itu dikelilingi oleh
berbagai hal yang disukai syahwat, sementara neraka dikelilingi
oleh hal-hal yang dibenci.” (Shahih al-Bukhari (6122))
2. Seorang hamba akan terdorong untuk
bersabar jika terkena musibah dan tidak menjadi lupa diri terhadap nikmat yang
diperolehnya.
Mengapa
demikian? Karena ayat ini mendorong seorang hamba untuk memasrahkan segala
urusan hanya kepada Yang Maha Mengetahui akibat di balik segala urusan,
kemudian merasa ridha dengan pilihan Allah swt dan takdir Allah swt untuknya.
Bersama dengan itu daia tidaklah berani mengedepankan pilihan dan pertimbangan
pribadi dengan menyisihkan pilihan Allah swt terhadap segala sesuatu yang memang telah menjadi jatahnya.
Dia tidak mau
protes terhadap segala keputusan-Nya! Tentunya semuanya tetap diiringi dengan semangat untuk
mengambil
berbagai sebab yang mendatangkan manfaat di dunia maupun di akhirat.
Benarlah sabda Rasulullah saw, “Begitu
mencengangkan urusan seorang
mukmin. Sesungguhnya seluruh
urusannya adalah baik. Hal
ini tidak dijumpai kecuali pada diri seorang yang mukmin. Jika dia mendapatkan
sesuatu yang membuatnya senang
akan bersyukur, dan ini
adalah baik. Sementara jika dia mendapatkan suatu musibah yang membuatnya
susah dia akan bersabar, ini
pun juga baik.” (Shahih Muslim)
Begitulah
karakteristik muslim sejati, hanya dua kondisinya bersyukur bila mendapatkan
sesuatu yang menyenangkan dan bersabar bila ditimpa sesuatu musibah. Semuanya
baik, bersyukur adalah perbuatan baik dan terpuji begitu pula dengan bersabar.
Apakah kita termasuk dalam jajaran muslim yang demikian? Semoga kita dijadikan
oleh Allah sebagai mukmin yang bertakwa dengan karakter tersebut. Amin. Wallahul
musta’an. !
Al-Ustadz S’aid
Sumber : Majalah FATAWA Vol.III/No.07
| Juni 2007 / Jumadil Ula 1428 H
Posting Komentar