Home » » Mahasiswa, Keruntuhan Akhlak dan Kehancuran Bangsa

Mahasiswa, Keruntuhan Akhlak dan Kehancuran Bangsa

Written By Unknown on Kamis, 15 Mei 2014 | 17.26

Oleh: Pirdaus Sabana
(Ketua Umum Gamais 2009)

Saya ingat betul masa kecil di tahun 90-an itu.  Masa ketika anak-anak begitu riang bermain layang-layang, main kelereng, atau main bola di lapangan licin di bawah guyuran hujan. Masa dimana anak-anak tak kenal playstation, tak sibuk dengan sms-an, atau nge-game seharian penuh di rentalan internet yang ramai dengan bahasa binatang.  Masa itu adalah masa dimana mesjid dan surau selalu ramai dengan pengajian anak-anak selepas maghrib atau selepas subuh. Masa ketika anak-anak menaruh hormat dan ketaatan yang begitu tinggi terhadap orang tuanya.

Masa itu, adalah juga masa ketika “mahasiswa” menjadi gelar yang begitu prestisius, berkesan intelek dan hanya orang hebat yang mampu mengenakan titel itu.  Ya, dulu waktu saya SD begitu terpukau saat melihat kakak-kakak mahasiswa yang sedang KKN. Mereka terlihat begitu intelek, meski tanpa laptop atau gadget keluaran terbaru di tangannya.  Rasanya bahkan tak pernah saya melihat mahasiswa-mahasiswa itu berperilaku negatif.  Dari cara berpakaian dan cara bergaul misalnya, terlihat serasi sekali dengan gelar mereka, “mahasiswa”.

Hari ini saya mulai terus berpikir tentang mahasiswa di masa itu, ketika saya masih anak-anak dan bercita-cita kelak bisa menjadi mahasiswa.  Mahasiswa ketika itu belum mengenal komputer, selain mungkin hanya sekedar tahu dari TV sebagai alat super canggih yang hanya bisa dioperasikan oleh ilmuwan hebat.  Mahasiswa ketika itu harus bergelut dengan mesin tik saat mengurus skripsi.  Harus juga berburu buku sumber untuk pedoman penelitiannya. Maka sayapun berpikir, betapa susahnya menjadi mahasiswa ketika itu.

Lalu mari kita coba mundur lagi pada tempo sebelum itu, tempo dulu.  Saat ketika saya juga orang tua saya belum ada, dan kakek saya sedang hebat-hebatnya sebagai pemuda pejuang kemerdekaan.  Waktu itu, manusia bergelar mahasiswa adalah kalangan superspesial yang maju di barisan terdepan dalam perjuangan kemerdekaan.  Di pundak merekalah nasib bangsa ini ditentukan. Merekalah yang kemudian melahirkan organisasi-organisasi besar yang memperjuangkan kemerdekaan.  Lalu dari kalangan mereka pula lahir sosok-sosok manusia hebat macam Bung Karno, Bung Hatta, dkk.  Nah, rasanya kita mudah sekali membayangkan, betapa mahasiswa masa itu sungguh luar biasa.  Waktu luang mereka bukan untuk main game, atau nongkrong ga jelas, atau shoping,clubbing, mancing atau apalah yang tak memberi banyak manfaat.  Yang ada dalam bayangan saya tentang mahasiswa masa lalu adalah dua hal saja “Belajar dan Berjuang”.

Oke, mari kita kembali pada realita.  Hari ini, saya yang waktu kecil dulu ingin jadi mahasiswa, akhirnya Allah kehendaki untuk mencicipi bangku kuliah dan menjadi mahasiswa.  Waktu itu di tahun 2006, saya mulai menjadi mahasiswa. Belum ada mahasiswa yang membawa laptop ke kampus saat itu, bahkan saya masih sempat menggunakan disket jadul untuk nyimpan data dari komputer.  Tahun 2007an mulai ramai perangkat-perangkat yang lebih canggih, mahasiswa mulai menggunakan flashdisk. Dan baru di awal 2008an beberapa mahasiswa membawa benda bernama laptop ke kampus.

Era komputer baru saja dimulai sekitar tahun 2000an.  Dan dunia berubah begitu cepat sejak saat itu.  HP mulai menyebar tak hanya di kalangan elit. Bahkan hari ini kita tak lagi akan heran saat melihat tukang cilok memakai BB. Sebenarnya bukan disitu point utamanya.  Tapi mari kita lihat sisi lain dari masa-masa ketika era komputer menyapa manusia, khususnya di Indonesia.  Di Era itulah pertamakali anak-anak Indonesia mulai mengenal mainan bernama Playstation, lalu mahasiswa mulai mengenal Internet yang dengannya segala sesuatu bisa diakses. Lalu dampaknya, hal-hal buruk dari luar sana pun bisa masuk dengan sangat mudah menyerang budaya bangsa Indonesia, terutama kalangan mudanya.  Budaya hedonis dalam wujud Fashion, Free sex dan sejenisnya mulai masuk menyerang lewat televisi, internet dan perangkat-perangkat teknologi lainnya.  

Zaman dulu kita tak akan menemukan anak SMP menyimpan video porno di HPnya, tak juga akan kita temukan anak SD yang seharian tak pulang karena main game online di rentalan.  Sungguh jika ingat itu, saya mersa sangat beruntung pernah menikmati masa-masa kuno yang rasanya jauh lebih aman dan menyenangkan.

Lalu yang lebih penting dari itu, mari kita tengok generasi muda hari ini, generasi yang akan mewarisi kepimpinan bangsa ini 10, 20, atau bahkan 30 tahun mendatang.   Mari kita mulai membahas mahasiswa hari ini, mahasiswa modern dengan teknologi super canggih di tangan, saku celana dan tas mahalnya.  Tanpa sedikitpun berniat merendahkan atau mencari-cari kesalahan, saya ingin mengajak kita semua melihat kenyataan hari ini.

Bahwa saat ini jumlah mahasiswa begitu banyak, itu sungguh harus kita syukuri.  Hari ini tak lagi istimewa jika ada anak desa jadi sarjana, karena beasiswa begitu mudah dimana-mana. Kampus-kampus pun tersebar merata di semua provinsi, tak hanya di kota besar, tapi juga di daerah-daerah. Yang kemudian menjadi masalah adalah, apakah kuantitas mahasiswa yang demikian banyak ini juga punya kualitas sebagaimana layaknya mahasiswa??

Saya yakin bahwa dengan teknologi super canggih, mahasiswa juga menikmati banyak manfaat positif.  Terutama kemudahan mencari informasi bahkan dari luar negeri sekalipun.  Sayangnya, dampak negatif tampaknya menyerang jauh lebih cepat dan beringas. Tak hanya budaya barat, bahkan korea pun akhir-akhir ini begitu mudah menjajah kalangan muda bangsa Indonesia.

Dulu sangat jarang menemui mahasiswi dengan pakaian seksi jalan-jalan di daerah kampus.  Hari ini, (mohon maaf) setiap langkah mata laki-laki dimanjakan oleh mereka. Cobalah juga tengok berita-berita di TV, perzinahan tak lagi aneh kita dengar, prostitusi, juga kejahatan-kejahatan turunannya seperti aborsi, ternyata telah sangat banyak merusak kalangan mahasiswa.  Dulu kalangan muda dihabisi dengan narkoba, sekarang di era internet, mereka dihabisi juga dengan segala hal yang melenakan.  Tak lagi mengherankan jika tengah malam sampai dini hari, arena game online masih hingar bingar dengan canda mereka, para “mahasiswa”.

Jika dulu bangsa ini dibangun oleh para mahasiswa, maka Indonesia ke depan juga masih akan dipimpin mahasiswa. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana jadinya bangsa ini ke depan, jika mahasiswanya tak memiliki jati diri dan tenggelam dalam jajahan budaya asing??.

Saya optimis bahwa masih ada banyak kalangan mahasiswa yang tak tergerus zaman, mereka berusaha mengendalikan diri, lalu mengendalikan beragam teknologi yang membanjiri untuk dipergunakan dalam hal-hal positif saja. Dan bagi saya, mereka inilah mahasiswa sesungguhnya. 

Setelah 6 tahun lebih menjadi mahasiswa, banyak hal saya temui, dan sedikit banyak saya mulai mengerti, mengapa kaum intelek ini begitu mudah tergerus zaman.  Paling tidak ada dua hal paling penting yang menyebabkan itu :

1.      Lemahnya pendidikan agama
Kekuatan dan kecanggihan teknologi seolah menjadi segalanya, dan segalanya seolah bisa diselesaikan dengan teknologi.  Orang tua lebih takut anaknya ketinggalan zaman untuk urusan teknologi daripada tak punya akhlak terpuji.  Tak heran banyak orang tua berbangga anaknya keren dan modern, meski akhlaknya tak lagi terjaga.  Dan urusan akhlak ini tidak bisa tidak, ia lahir dari pendidikan agama yang baik. Agamalah yang melahirkan keimanan, lalu keimanan inilah yang menjaga akhlak, ialah yang membuat manusia mampu lulus dari ujian yang merusak pribadinya sebagai makhluk Tuhan yang berakal.

2.      Lingkungan pergaulan
Jauhnya anak dari orang tua mau tidak mau telah membuka banyak peluang yang memungkinkan anak berdusta, dan dengan mudah menyembunyikan keburukan-keburukannya.  Di sisi lain, orang tua pun jauh lebih kesulitan mengontrol pergaulan anak-anaknya. Padahal, dari lingkungan pergaulan inilah akhlak mereka dibangun dan masa depannya ditata.  Betapa banyak saya temui mahasiswa yang dulunya sebelum kuliah shalih/shaliha, lantas mulai berkenalan dengan dunia kemaksiatan justru saat jadi mahasiswa.  Betapa banyak mereka yang terjebak free sex dan kemaksiatan turunannya diawali dengan lingkungan pergaulan ini.

Dengan demikian, penting bagi saya pribadi sebagai mantan mahasiswa untuk mengingatkan diri sendiri juga rekan-rekan yang sedang menikmati dunia kampus.  Bahwa kampus harus benar-benar menjadi jembatan menuju cita-cita.  Ia adalah tempat belajar dan berjuang. Bukan hanya belajar teori di ruang kuliah,,tapi juga belajar menjadi pribadi mandiri, dewasa, berbudi pekerti, juga siap untuk kelak membahgiakan orang tua tercinta dan bermanfaat bagi bangsa dan Negara.  Jangan tinggalkan agama, dan bergaulah dalam lingkungan yang membawa pada kebaikan dan mendekatkan pada impian-impian.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Gamais Faperta UNSOED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger