Oleh: Pirdaus Sabana
(Ketua Umum Gamais 2009)
Saya ingat betul masa kecil di tahun
90-an itu. Masa ketika anak-anak begitu
riang bermain layang-layang, main kelereng, atau main bola di lapangan licin di
bawah guyuran hujan. Masa dimana anak-anak tak kenal playstation, tak sibuk
dengan sms-an, atau nge-game seharian penuh di rentalan internet yang ramai
dengan bahasa binatang. Masa itu adalah
masa dimana mesjid dan surau selalu ramai dengan pengajian anak-anak selepas
maghrib atau selepas subuh. Masa ketika anak-anak menaruh hormat dan ketaatan yang
begitu tinggi terhadap orang tuanya.

Hari ini saya mulai terus berpikir
tentang mahasiswa di masa itu, ketika saya masih anak-anak dan bercita-cita
kelak bisa menjadi mahasiswa. Mahasiswa
ketika itu belum mengenal komputer, selain mungkin hanya sekedar tahu dari TV sebagai
alat super canggih yang hanya bisa dioperasikan oleh ilmuwan hebat. Mahasiswa ketika itu harus bergelut dengan
mesin tik saat mengurus skripsi. Harus
juga berburu buku sumber untuk pedoman penelitiannya. Maka sayapun berpikir,
betapa susahnya menjadi mahasiswa ketika itu.
Lalu mari kita coba mundur lagi pada
tempo sebelum itu, tempo dulu. Saat
ketika saya juga orang tua saya belum ada, dan kakek saya sedang hebat-hebatnya
sebagai pemuda pejuang kemerdekaan.
Waktu itu, manusia bergelar mahasiswa adalah kalangan superspesial yang
maju di barisan terdepan dalam perjuangan kemerdekaan. Di pundak merekalah nasib bangsa ini
ditentukan. Merekalah yang kemudian melahirkan organisasi-organisasi besar yang
memperjuangkan kemerdekaan. Lalu dari
kalangan mereka pula lahir sosok-sosok manusia hebat macam Bung Karno, Bung
Hatta, dkk. Nah, rasanya kita mudah
sekali membayangkan, betapa mahasiswa masa itu sungguh luar biasa. Waktu luang mereka bukan untuk main game,
atau nongkrong ga jelas, atau shoping,clubbing, mancing atau apalah yang tak
memberi banyak manfaat. Yang ada dalam
bayangan saya tentang mahasiswa masa lalu adalah dua hal saja “Belajar dan
Berjuang”.
Oke, mari kita kembali pada
realita. Hari ini, saya yang waktu kecil
dulu ingin jadi mahasiswa, akhirnya Allah kehendaki untuk mencicipi bangku
kuliah dan menjadi mahasiswa. Waktu itu
di tahun 2006, saya mulai menjadi mahasiswa. Belum ada mahasiswa yang membawa
laptop ke kampus saat itu, bahkan saya masih sempat menggunakan disket jadul
untuk nyimpan data dari komputer. Tahun
2007an mulai ramai perangkat-perangkat yang lebih canggih, mahasiswa mulai
menggunakan flashdisk. Dan baru di awal 2008an beberapa mahasiswa membawa benda
bernama laptop ke kampus.
Era komputer baru saja dimulai sekitar
tahun 2000an. Dan dunia berubah begitu
cepat sejak saat itu. HP mulai menyebar
tak hanya di kalangan elit. Bahkan hari ini kita tak lagi akan heran saat
melihat tukang cilok memakai BB. Sebenarnya bukan disitu point utamanya. Tapi mari kita lihat sisi lain dari masa-masa
ketika era komputer menyapa manusia, khususnya di Indonesia. Di Era itulah pertamakali anak-anak Indonesia
mulai mengenal mainan bernama Playstation, lalu mahasiswa mulai mengenal
Internet yang dengannya segala sesuatu bisa diakses. Lalu dampaknya, hal-hal
buruk dari luar sana pun bisa masuk dengan sangat mudah menyerang budaya bangsa
Indonesia, terutama kalangan mudanya.
Budaya hedonis dalam wujud Fashion, Free sex dan sejenisnya mulai masuk
menyerang lewat televisi, internet dan perangkat-perangkat teknologi lainnya.
Zaman dulu kita tak akan menemukan anak
SMP menyimpan video porno di HPnya, tak juga akan kita temukan anak SD yang
seharian tak pulang karena main game online di rentalan. Sungguh jika ingat itu, saya mersa sangat
beruntung pernah menikmati masa-masa kuno yang rasanya jauh lebih aman dan
menyenangkan.
Lalu yang lebih penting dari itu, mari
kita tengok generasi muda hari ini, generasi yang akan mewarisi kepimpinan
bangsa ini 10, 20, atau bahkan 30 tahun mendatang. Mari kita mulai membahas mahasiswa hari ini,
mahasiswa modern dengan teknologi super canggih di tangan, saku celana dan tas
mahalnya. Tanpa sedikitpun berniat
merendahkan atau mencari-cari kesalahan, saya ingin mengajak kita semua melihat
kenyataan hari ini.
Bahwa saat ini jumlah mahasiswa begitu
banyak, itu sungguh harus kita syukuri.
Hari ini tak lagi istimewa jika ada anak desa jadi sarjana, karena
beasiswa begitu mudah dimana-mana. Kampus-kampus pun tersebar merata di semua
provinsi, tak hanya di kota besar, tapi juga di daerah-daerah. Yang kemudian
menjadi masalah adalah, apakah kuantitas mahasiswa yang demikian banyak ini
juga punya kualitas sebagaimana layaknya mahasiswa??
Saya yakin bahwa dengan teknologi super
canggih, mahasiswa juga menikmati banyak manfaat positif. Terutama kemudahan mencari informasi bahkan
dari luar negeri sekalipun. Sayangnya,
dampak negatif tampaknya menyerang jauh lebih cepat dan beringas. Tak hanya
budaya barat, bahkan korea pun akhir-akhir ini begitu mudah menjajah kalangan
muda bangsa Indonesia.
Dulu sangat jarang menemui mahasiswi
dengan pakaian seksi jalan-jalan di daerah kampus. Hari ini, (mohon maaf) setiap langkah mata
laki-laki dimanjakan oleh mereka. Cobalah juga tengok berita-berita di TV,
perzinahan tak lagi aneh kita dengar, prostitusi, juga kejahatan-kejahatan
turunannya seperti aborsi, ternyata telah sangat banyak merusak kalangan
mahasiswa. Dulu kalangan muda dihabisi
dengan narkoba, sekarang di era internet, mereka dihabisi juga dengan segala
hal yang melenakan. Tak lagi
mengherankan jika tengah malam sampai dini hari, arena game online masih hingar
bingar dengan canda mereka, para “mahasiswa”.
Jika dulu bangsa ini dibangun oleh para
mahasiswa, maka Indonesia ke depan juga masih akan dipimpin mahasiswa. Pertanyaannya
kemudian adalah bagaimana jadinya bangsa ini ke depan, jika mahasiswanya tak
memiliki jati diri dan tenggelam dalam jajahan budaya asing??.
Saya optimis bahwa masih ada banyak
kalangan mahasiswa yang tak tergerus zaman, mereka berusaha mengendalikan diri,
lalu mengendalikan beragam teknologi yang membanjiri untuk dipergunakan dalam
hal-hal positif saja. Dan bagi saya, mereka inilah mahasiswa sesungguhnya.
Setelah 6 tahun lebih menjadi mahasiswa,
banyak hal saya temui, dan sedikit banyak saya mulai mengerti, mengapa kaum
intelek ini begitu mudah tergerus zaman.
Paling tidak ada dua hal paling penting yang menyebabkan itu :
1. Lemahnya
pendidikan agama
Kekuatan
dan kecanggihan teknologi seolah menjadi segalanya, dan segalanya seolah bisa
diselesaikan dengan teknologi. Orang tua
lebih takut anaknya ketinggalan zaman untuk urusan teknologi daripada tak punya
akhlak terpuji. Tak heran banyak orang
tua berbangga anaknya keren dan modern, meski akhlaknya tak lagi terjaga. Dan urusan akhlak ini tidak bisa tidak, ia
lahir dari pendidikan agama yang baik. Agamalah yang melahirkan keimanan, lalu
keimanan inilah yang menjaga akhlak, ialah yang membuat manusia mampu lulus dari
ujian yang merusak pribadinya sebagai makhluk Tuhan yang berakal.
2. Lingkungan
pergaulan
Jauhnya
anak dari orang tua mau tidak mau telah membuka banyak peluang yang
memungkinkan anak berdusta, dan dengan mudah menyembunyikan
keburukan-keburukannya. Di sisi lain,
orang tua pun jauh lebih kesulitan mengontrol pergaulan anak-anaknya. Padahal,
dari lingkungan pergaulan inilah akhlak mereka dibangun dan masa depannya
ditata. Betapa banyak saya temui
mahasiswa yang dulunya sebelum kuliah shalih/shaliha, lantas mulai berkenalan
dengan dunia kemaksiatan justru saat jadi mahasiswa. Betapa banyak mereka yang terjebak free sex
dan kemaksiatan turunannya diawali dengan lingkungan pergaulan ini.
Dengan demikian, penting bagi saya
pribadi sebagai mantan mahasiswa untuk mengingatkan diri sendiri juga
rekan-rekan yang sedang menikmati dunia kampus.
Bahwa kampus harus benar-benar menjadi jembatan menuju cita-cita. Ia adalah tempat belajar dan berjuang. Bukan
hanya belajar teori di ruang kuliah,,tapi juga belajar menjadi pribadi mandiri,
dewasa, berbudi pekerti, juga siap untuk kelak membahgiakan orang tua tercinta
dan bermanfaat bagi bangsa dan Negara.
Jangan tinggalkan agama, dan bergaulah dalam lingkungan yang membawa
pada kebaikan dan mendekatkan pada impian-impian.
Posting Komentar