Home » » Bagian dari Keimanan, In Sya Allah: Berharap Penuh, Pasrah Sepenuhnya

Bagian dari Keimanan, In Sya Allah: Berharap Penuh, Pasrah Sepenuhnya

Written By Unknown on Sabtu, 31 Mei 2014 | 00.07

PURWOKERTO, GamaisNews—Lafad in sya Allah merupakan bagian dari keimanan. Ini sebab, syahadat kita, keyakinan kita kepada Allah swt memunculkan dua hal, yaitu raja’ atau harapan kepada Allah, dan khauf atau rasa takut yang membuat kita sadar sepenuhnya bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa seizin Allah.

“Berharap penuh kepada Allah, tapi juga pasrah sepenuhnya,” ujar Ustadz Hermawan memaknai lafadz in sya Allah, dalam Kajian Yuk Mengenal Islam (YUMI) Gamais, Rabu (7/5) di Masjid HR. Boenyamin Fakultas Pertanian Unsoed.

Munculnya raja’ dan khauf dalam lafad in sya Allah merupakan konsekuensi dari syahadat. Keduanya, adalah bukti keimanan kita kepada Allah. Sebab, pada dasarnya ajaran keimanan kita kepada Allah memunculkan adanya sikap harap dan takut, yaitu raja’ dan khauf.

Ustadz Hermawan mengatakan, adanya raja’ dan khauf  dalam ajaran Islam dibuktikan dengan kandungan isi ayat-ayat al-Qur’an yang kadang-kadang menceritakan indahnya surga secara detail. Namun, al-Qur’an juga memberikan gambaran soal siksa neraka dan hal-hal yang berhubungan dengannya. “Agar manusia bisa memilih berharap surga, dan kalau mau melakukan dosa, ia takut sama neraka,” kata dia.

Dalam kehidupan sehari-hari, sikap raja’ dan khauf ini juga berkaitan dengan hal-hal keduniawian. Sikap raja’ memunculkan optimisme bahwa segala sesuatu tak ada yang tak mungkin sepanjang Allah mengabulkan. Karena itu, sikap raja’ ini memunculkan harapan kepada Allah.

Di sisi lain, iman kita juga memunculkan sebuah sikap khauf. Sikap khauf ini, menimbulkan kesadaran bahwa segala sesuatu tidak mungkin akan terjadi kecuali dengan seizin Allah. Karena itu, sikap raja’ dan khauf ini merupakan bagian dari seni keberimanan kepada Allah. “Sehingga indah sekali sebenarnya kalimat in sya Allah itu,” ujar Ustadz Hermawan.

Konteks keimanan dalam lafad in sya Allah sangat besar. Kaitannya dengan sikap raja’ dan khauf, konsep keduanya memunculkan sikap tawakal. Seperti diketahui, tawakal adalah menetapkan dan berserah diri kepada Allah swt atas semua kejadian atau hasil yang diterimanya dengan keyakinan bahwa Allah swt yang memiliki kehendak terhadap semua makhluk-Nya. Dengan pengertian itu, maka sangat jelas keterkaitan antara raja’-khauf dan tawakal.

Dikatakan Ustad Hermawan, menjadi dosa jika saat mengatakan in sya Allah, tidak diiringi dengan niat untuk melaksanakannya. “Kalau hati kita gak yakin, jangan bilang,’in sya Allah bisa’,” katanya.

Namun, lanjut dia, tidak menjadi masalah jika pada saat mengucapkan in sya Allah, niatnya benar-benar mau berusaha, sungguh-sungguh karena Allah, dan sudah terbayang betapa beratnya usaha yang harus kita lakukan untuk mewujudkan. “Dan itu sudah kita rencanakan dalam pikiran kita,” ujar Ustadz Hermawan. “Kalau sudah usaha tapi gak tercapai, itu gak papa,” tambah dia.

Ustadz hermawan mencontohkan, meski IPK sekarang 2,5, boleh berharap kelak menjadi 3,5. Namun, kata dia, tentu harus diiringi dengan usaha. “Kalau memang cita-cita kita besar, maka keringat kita juga harus banyak,” ujarnya.

“Jadi ini adalah iman, dan usaha itu bagian dari iman. Kita percaya dengan Allah, karena kita percaya Allah yang memutuskan, maka seperti apapun, kita berusaha. Kita berusaha, karena kita yakin kepada Allah.” lanjutnya.

Sebab Allah swt berfirman,

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105)

Makna in sya Allah yang sebenarnya, kata Ustadz Hermawan, adalah menggerakkan. Ketika mengucapkan lafad in sya Allah, berarti ada keyakinan dan kepasrahan kepada Allah, kemudian berusaha agar Allah mewujudkannya. “Kita yakin, sangat yakin, tapi keyakinan itu kita kembalikan kepada Allah swt,” ucapnya. “Maka, in sya Allah itu adalah kalimat yang mendorong kita sampai ke limit batas kemampuan kita,” lanjutnya.

Ibroh untuk manusia

Lafad in sya Allah dalam al-Qur’an, pertama kali bersamaan dengan turunnya QS. Al-Kahfi: 23-24,

"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi", kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah’.”

Ayat di atas adalah teguran kepada Rasulullah saw yang saat itu mendapat pertanyaan dari seorang sahabat soal kisah Ashabul kahfi. Rasulullah saw saat itu tak sanggup memberi jawaban pasti. Tanpa menyebut in sya Allah, beliau berkata kepada sahabat yang bertanya, "Jawabannya akan kuberikan besok." Padahal, maksud Rasulullah menjawab itu adalah ‘nanti in sya Allah wahyu akan turun’.

Biasanya pada saat-saat seperti demikian, keesokannya turun wahyu sebagai jawaban. Keesokan harinya, fajar telah menyingsing menyambut mentari terbit di ufuk timur. Sang surya terus menyemai panas di atas kepala sehingga dzuhur. Namun, wahyu dari Sang Khaliq tak kunjung turun memberikan jawab. Akhirnya sore semakin tinggi. Senjapun memerah mengantar kegelapan malam. Berhari-hari Rasulullah saw menantikan wahyu itu. Lewat lima belas hari turunlah wahyu.

Ibroh yang dapat diambil dari peristiwa di atas adalah agar tidak menjanjikan sesuatu, memastikan sesuatu tanpa mengucapkan in sya Allah. “Karena sebenarnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas,” ujar Ustadz Hermawan.

Lebih jauh, Ustadz Hermawan menambahkan, jika orang yang tingkat keimanannya selevel Rasulullah saja ditegur Allah saat tidak mengucapkan in sya Allah, kita jangan berani-berani. Ini sebab, seoptimis-optimisnya kita, semua adalah ketetapan Allah. “Tidak bisa kita memastikan,” tuturnya.

Bukan untuk melegitimasi hal-hal yang dilarang

Lafad in sya Allah sering kali disalahartikan, salah satunya sebagai bentuk penolakan secara halus. Padahal, lafad in sya Allah adalah manifestasi dari keimanan. Ustadz Hermawan menegaskan, jika mengatakan in sya Allah atas suatu janji, maka menjadi keharusan untuk memenuhi apa yang dijanjikan itu. “Kalau kita ngomong in sya Allah maksudnya ya ‘iya’,” ujarnya. “Jangan sampe sekali-kali kita mengucapkan insya Allah untuk mengingkari,” tambahnya.

Untuk itu, ia menghimbau untuk hanya memakai lafad in sya Allah terhadap suatu hal yang sudah jelas kepastiannya. “Jangan menjanjikan sesuatu yang kepastiannya tak jelas,” tegasnya.

Di sisi lain, tidak pula diperbolehkan menggunakan lafad in sya Allah guna melegitimasi hal-hal yang dilarang Allah. Ustadz Hermawan mencontohkan, misalnya digunakan untuk melegitimasi kesombongan. “Kalau masalah ganteng mah, in sya Allah saya,” ujarnya, yang diikuti gelak tawa peserta YUMI. (RDL)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Gamais Faperta UNSOED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger