PURWOKERTO, GamaisNews—Lafad in sya Allah merupakan bagian dari keimanan. Ini sebab, syahadat
kita, keyakinan kita kepada Allah swt memunculkan dua hal, yaitu raja’ atau harapan kepada Allah, dan khauf atau rasa takut yang membuat kita
sadar sepenuhnya bahwa segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa seizin Allah.
“Berharap penuh kepada Allah, tapi juga pasrah
sepenuhnya,” ujar Ustadz Hermawan memaknai lafadz in sya Allah, dalam Kajian Yuk Mengenal Islam (YUMI) Gamais, Rabu
(7/5) di Masjid HR. Boenyamin Fakultas Pertanian Unsoed.
Munculnya raja’
dan khauf dalam lafad in sya Allah merupakan konsekuensi dari
syahadat. Keduanya, adalah bukti keimanan kita kepada Allah. Sebab, pada
dasarnya ajaran keimanan kita kepada Allah memunculkan adanya sikap harap dan
takut, yaitu raja’ dan khauf.
Ustadz Hermawan mengatakan, adanya raja’ dan khauf dalam ajaran Islam
dibuktikan dengan kandungan isi ayat-ayat al-Qur’an yang kadang-kadang
menceritakan indahnya surga secara detail. Namun, al-Qur’an juga memberikan
gambaran soal siksa neraka dan hal-hal yang berhubungan dengannya. “Agar
manusia bisa memilih berharap surga, dan kalau mau melakukan dosa, ia takut sama
neraka,” kata dia.
Dalam kehidupan sehari-hari, sikap raja’ dan khauf ini juga berkaitan dengan hal-hal keduniawian. Sikap raja’
memunculkan optimisme bahwa segala sesuatu tak ada yang tak mungkin sepanjang
Allah mengabulkan. Karena itu, sikap raja’
ini memunculkan harapan kepada Allah.
Di sisi lain, iman kita juga memunculkan sebuah sikap khauf. Sikap khauf ini, menimbulkan kesadaran bahwa segala sesuatu tidak mungkin
akan terjadi kecuali dengan seizin Allah. Karena itu, sikap raja’ dan khauf ini merupakan bagian dari seni keberimanan kepada Allah.
“Sehingga indah sekali sebenarnya kalimat in
sya Allah itu,” ujar Ustadz Hermawan.
Konteks keimanan dalam lafad in sya Allah sangat besar. Kaitannya dengan sikap raja’ dan khauf, konsep keduanya memunculkan sikap tawakal. Seperti
diketahui, tawakal
adalah menetapkan dan berserah diri kepada Allah swt atas semua kejadian atau hasil yang
diterimanya dengan keyakinan bahwa Allah swt yang memiliki kehendak terhadap
semua makhluk-Nya. Dengan
pengertian itu, maka sangat jelas keterkaitan antara raja’-khauf dan tawakal.
Dikatakan Ustad Hermawan, menjadi
dosa jika saat mengatakan in sya Allah,
tidak diiringi dengan niat untuk melaksanakannya. “Kalau hati kita gak yakin,
jangan bilang,’in sya Allah bisa’,”
katanya.
Namun, lanjut dia, tidak menjadi
masalah jika pada saat mengucapkan in sya
Allah, niatnya benar-benar mau berusaha, sungguh-sungguh
karena Allah, dan sudah terbayang betapa beratnya usaha yang harus kita lakukan
untuk mewujudkan. “Dan itu sudah kita rencanakan dalam pikiran kita,” ujar
Ustadz Hermawan. “Kalau sudah usaha tapi gak
tercapai, itu gak papa,” tambah dia.
Ustadz hermawan mencontohkan, meski
IPK sekarang 2,5, boleh berharap kelak menjadi 3,5. Namun, kata dia, tentu harus
diiringi dengan usaha. “Kalau memang
cita-cita kita besar, maka keringat kita juga harus banyak,” ujarnya.
“Jadi ini adalah iman, dan usaha itu bagian dari iman.
Kita percaya dengan Allah, karena kita percaya Allah yang memutuskan, maka seperti
apapun, kita berusaha. Kita berusaha, karena kita yakin kepada Allah.”
lanjutnya.
Sebab Allah swt berfirman,
“Dan
katakanlah:
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105)
Makna in sya
Allah yang sebenarnya, kata Ustadz Hermawan, adalah menggerakkan. Ketika
mengucapkan lafad in sya Allah,
berarti ada keyakinan dan kepasrahan kepada Allah, kemudian berusaha agar Allah
mewujudkannya. “Kita yakin, sangat yakin, tapi keyakinan itu kita kembalikan
kepada Allah swt,” ucapnya. “Maka, in sya
Allah itu adalah kalimat yang mendorong kita sampai ke limit batas kemampuan
kita,” lanjutnya.
Ibroh untuk
manusia
Lafad in
sya Allah dalam al-Qur’an, pertama kali bersamaan dengan turunnya QS.
Al-Kahfi: 23-24,
"Dan jangan
sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi", kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah’.”
Ayat di atas adalah teguran kepada Rasulullah saw yang
saat itu mendapat pertanyaan dari seorang sahabat soal kisah Ashabul kahfi. Rasulullah saw saat itu tak
sanggup memberi jawaban pasti. Tanpa menyebut in sya Allah, beliau berkata
kepada sahabat yang bertanya, "Jawabannya
akan kuberikan besok." Padahal, maksud
Rasulullah menjawab itu adalah ‘nanti in
sya Allah wahyu akan turun’.
Biasanya pada
saat-saat seperti demikian, keesokannya turun wahyu sebagai jawaban. Keesokan harinya, fajar telah
menyingsing menyambut mentari terbit di ufuk timur. Sang surya terus menyemai
panas di atas kepala sehingga dzuhur. Namun, wahyu
dari Sang Khaliq tak kunjung turun memberikan jawab. Akhirnya sore semakin
tinggi. Senjapun memerah
mengantar kegelapan malam. Berhari-hari
Rasulullah saw menantikan wahyu itu. Lewat lima belas hari turunlah wahyu.
Ibroh yang dapat diambil dari peristiwa di atas adalah
agar tidak menjanjikan sesuatu, memastikan sesuatu tanpa mengucapkan in sya Allah. “Karena sebenarnya
pengetahuan manusia itu sangat terbatas,” ujar Ustadz Hermawan.
Lebih jauh, Ustadz Hermawan menambahkan, jika orang
yang tingkat keimanannya selevel Rasulullah saja ditegur Allah saat tidak
mengucapkan in sya Allah, kita jangan
berani-berani. Ini sebab, seoptimis-optimisnya kita, semua adalah ketetapan
Allah. “Tidak bisa kita memastikan,” tuturnya.
Bukan untuk
melegitimasi hal-hal yang dilarang
Lafad in sya
Allah sering kali disalahartikan, salah satunya sebagai bentuk penolakan
secara halus. Padahal, lafad in sya Allah
adalah manifestasi dari keimanan. Ustadz Hermawan menegaskan, jika mengatakan in sya Allah atas suatu janji, maka
menjadi keharusan untuk memenuhi apa yang dijanjikan itu. “Kalau kita ngomong in sya Allah maksudnya ya ‘iya’,” ujarnya. “Jangan sampe
sekali-kali kita mengucapkan insya Allah
untuk mengingkari,” tambahnya.
Untuk itu, ia menghimbau untuk hanya memakai lafad in sya Allah terhadap suatu hal yang
sudah jelas kepastiannya. “Jangan menjanjikan sesuatu yang kepastiannya tak
jelas,” tegasnya.
Di sisi lain, tidak pula diperbolehkan menggunakan lafad in sya Allah guna
melegitimasi hal-hal yang dilarang Allah. Ustadz Hermawan mencontohkan,
misalnya digunakan untuk melegitimasi kesombongan. “Kalau masalah ganteng mah, in
sya Allah saya,” ujarnya, yang diikuti gelak tawa peserta YUMI. (RDL)
Posting Komentar