Oleh: Moh. Ega Elman Miska
(Ketua Umum Gamais 2011)
Dinamika bangsa akan terlihat jelas
di mata rakyat bahwa permasalahan-permasalahan yang ada di bangsa ini lebih cenderung bagaimana pemimpinnya melihat dan menyelesaikannya. Namun, setting
pada zaman abad 21 mampu menstimulus hingga munculnya karakter kepemimpinan
yang bersesuaian, sebab kepemimpinan tidak hadir di ruang hampa, melainkan
dalam sebuah konteks. Teringat pepatah arab yang mengatakan likulli marhalatin rijaluha wa likuli
rijalin muwashafatuha, setiap zaman terdapat tokohnya dan setiap tokoh
memiliki karakter yang sesuai dengan zamannya.
Kitapun tak dapat memungkiri selalu
terbesit pertanyaan dalam hati. Apakah pemimpin saya akan mampu menghadapi
masalah rakyatnya dengan segala daya juangnya ketika memimpin? Atau ia hanya
bersusah payah menjaga singgahsana kekuasaan yang telah didudukinya. Kita dapat
melihat bagaimana respon natural Nabi sulaiman terhadap perintah Ratu Semut
pada rakyatnya (Q.S An-Naml (27:18)!.
“
Maka dia (sulaiman tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut
itu….”(Q.S An-Naml (27:19).
Tidak mau kalah juga para pejabat PNS
mencari sebuah pencitraan dengan gaya jas mentereng, rambut klimis tapi tak berkumis. Apakah
bangsa ini suka dengan pencitraan dibandingkan sebuah naturalitas yang
berorientasi pada kualitas diri untuk memimpin diri dan memimpin bangsa ini?
Kisah Nabi sulaiman menggambarkan bahwa
ini adalah refleksi seorang pemimpin yang tidah
membutuhkan pencitraan. Dia tersenyum dan tertawa lepas tanpa beban. Bisa kita bayangkan
seorang pemimpin besar saat melakukan perjalanan dengan armada besarnya
kemudian melihat percakapan seorang ratu semut sedang berdialog dengan kaumnya.
Bisa diduga bahwa orang lain akan tertegun memperhatikan perilaku Nabi Sulaiman
yang mengamati interaksi binatang kecil itu. Tiba-tiba Nabi Sulaiman tertawa
lepas. Lalu Nabi pun berdoa:
“
Rabbku, ilhamkanlah kepadaku untuk mensyukuri kenikmatan yang telah engkau
limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku beramal shaleh yang
engkau ridhai, dan masukkanlah aku atas rahmatMu kedalam golongan
hamba-hambamMu yang shaleh (Q.S An-Naml (27:19).
Naturalitas itu sangat penting bagi
seorang pemimpin. Dia tampil menjadi pemimpin apa adanya dan sangat menikmati
keunikan darinya tidak terbebani oleh penilaian orang lain atau bawahannya. Ia
tampil sebagai orang yang bersyukur atas keunikan yang diberikan Allah
kepadanya. Karena itu sebuah ongkos naturalitas ini jauh lebih murah ketimbang
sebuah pencitraan yang zaman sekarang begitu massif dilakukan para pemimpin
yang tidak sejati.
Kesejatian pemimpin terletak pada
keasliaanya yang natural, bukan image yang dipaksakan kepada kepala orang lain.
Kesejatian itu murah sedangkan pencitraan itu mahal dan dramatis. “Gue apa adanya, yang lain bersandiwara”
mungkin kata ini lebih tepat untuk seorang pemimpin sejati. Pencari Imagologi
(pencitraan) ini akan terlihat dari segi kinerja atau bahkan kualtias dari
kesejatiaan seorang pemimpin. Para pemimpin sejati tampil sebagai manusia
seutuhnya. Sedangkan para pemimpin rekaan tampil kaku dan penuh pertimbangan
atas penilaian orang lain. Kesejatianlah yang kelak akan didukung orang, bukan
orang mendukung karena sebuah pencitraan. Karena kesejatian lawanya adalah
kepalsuan.
Pemimpin sejati sangat memahami arti kekuasaan sesungguhnya. Kekuasaan untuk kesejahteraan
rakyatnya. Sedangkan pemimpin yang palsu dianggap dirinya berkuasa tapi
sesungguhnya disetir oleh para industri imagologi yang mencari untung besar
hingga kesejahteraan itu mengalir disekitar penguasa dan tidak sampai kepada
rakyatnya. Yang sampai pada rakyatnya adalah image, bukan kesejahteraan yang
sejati.
Kisah Nabi Sulaiman akan menjadi cermin
para calon-calon pemimpin bangsa ini, sebagaimana mestinya seorang pemimpin
mensejahterahkan rakyatnya dengan naturalitasnya bukan karena pencitraan
dirinya saja. Rakyat akan merasakan kesejahteraan dari pemimpinnya. Disisi
lain, ayat tentang tersenyum dan tertawa ini menarik jika dielaborasi lebih
lanjut. Ekspresi senyum dan tertawa adalah dari fungsi aktivitas otak kanan. Otak kanan memiliki
peran yang lebih ringan, kreatif, inovatif.
Menjadi pemimpin sejati, ia harus mampu
mengkombinasikan kecerdasan yang dimiliki oleh otak kanan dan otak kirinya.
Bukan berjalan tidak seimbang. Kedua belahan ini akan berjalan selaras dengan
apa yang dilakukan seorang pemimpin. Kita refleksikan kisah Nabi Sulaiman dari
pesta demokrasi yang saat ini kursi kekuasaan diperebutkan oleh para pemimpin
yang naturalitas atau para pemimipin imagologi.
Posting Komentar