Home » » Sebuah Naturalitas Bukan Sekedar Pencitraan

Sebuah Naturalitas Bukan Sekedar Pencitraan

Written By Unknown on Selasa, 03 Juni 2014 | 20.35

Oleh: Moh. Ega Elman Miska

(Ketua Umum Gamais 2011)


Dinamika bangsa akan terlihat jelas di mata rakyat bahwa permasalahan-permasalahan yang ada di bangsa ini lebih cenderung bagaimana pemimpinnya melihat dan menyelesaikannya. Namun, setting pada zaman abad 21 mampu menstimulus hingga munculnya karakter kepemimpinan yang bersesuaian, sebab kepemimpinan tidak hadir di ruang hampa, melainkan dalam sebuah konteks. Teringat pepatah arab yang mengatakan likulli marhalatin rijaluha wa likuli rijalin muwashafatuha, setiap zaman terdapat tokohnya dan setiap tokoh memiliki karakter yang sesuai dengan zamannya.

Kitapun tak dapat memungkiri selalu terbesit pertanyaan dalam hati. Apakah pemimpin saya akan mampu menghadapi masalah rakyatnya dengan segala daya juangnya ketika memimpin? Atau ia hanya bersusah payah menjaga singgahsana kekuasaan yang telah didudukinya. Kita dapat melihat bagaimana respon natural Nabi sulaiman terhadap perintah Ratu Semut pada rakyatnya (Q.S An-Naml (27:18)!.

“ Maka dia (sulaiman tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu….”(Q.S An-Naml (27:19).

Tidak mau kalah juga para pejabat PNS mencari sebuah pencitraan dengan gaya jas mentereng, rambut klimis tapi tak berkumis. Apakah bangsa ini suka dengan pencitraan dibandingkan sebuah naturalitas yang berorientasi pada kualitas diri untuk memimpin diri dan memimpin bangsa ini?

Kisah Nabi sulaiman menggambarkan bahwa ini adalah refleksi seorang pemimpin yang tidah membutuhkan pencitraan. Dia tersenyum dan tertawa  lepas tanpa beban. Bisa kita bayangkan seorang pemimpin besar saat melakukan perjalanan dengan armada besarnya kemudian melihat percakapan seorang ratu semut sedang berdialog dengan kaumnya. Bisa diduga bahwa orang lain akan tertegun memperhatikan perilaku Nabi Sulaiman yang mengamati interaksi binatang kecil itu. Tiba-tiba Nabi Sulaiman tertawa lepas. Lalu Nabi pun berdoa:

“ Rabbku, ilhamkanlah kepadaku untuk mensyukuri kenikmatan yang telah engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku beramal shaleh yang engkau ridhai, dan masukkanlah aku atas rahmatMu kedalam golongan hamba-hambamMu yang shaleh (Q.S An-Naml (27:19).

Naturalitas itu sangat penting bagi seorang pemimpin. Dia tampil menjadi pemimpin apa adanya dan sangat menikmati keunikan darinya tidak terbebani oleh penilaian orang lain atau bawahannya. Ia tampil sebagai orang yang bersyukur atas keunikan yang diberikan Allah kepadanya. Karena itu sebuah ongkos naturalitas ini jauh lebih murah ketimbang sebuah pencitraan yang zaman sekarang begitu massif dilakukan para pemimpin yang tidak sejati.

Kesejatian pemimpin terletak pada keasliaanya yang natural, bukan image yang dipaksakan kepada kepala orang lain. Kesejatian itu murah sedangkan pencitraan itu mahal dan dramatis. “Gue apa adanya, yang lain bersandiwara” mungkin kata ini lebih tepat untuk seorang pemimpin sejati. Pencari Imagologi (pencitraan) ini akan terlihat dari segi kinerja atau bahkan kualtias dari kesejatiaan seorang pemimpin. Para pemimpin sejati tampil sebagai manusia seutuhnya. Sedangkan para pemimpin rekaan tampil kaku dan penuh pertimbangan atas penilaian orang lain. Kesejatianlah yang kelak akan didukung orang, bukan orang mendukung karena sebuah pencitraan. Karena kesejatian lawanya adalah kepalsuan.

Pemimpin sejati sangat memahami  arti kekuasaan  sesungguhnya. Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sedangkan pemimpin yang palsu dianggap dirinya berkuasa tapi sesungguhnya disetir oleh para industri imagologi yang mencari untung besar hingga kesejahteraan itu mengalir disekitar penguasa dan tidak sampai kepada rakyatnya. Yang sampai pada rakyatnya adalah image, bukan kesejahteraan yang sejati.

Kisah Nabi Sulaiman akan menjadi cermin para calon-calon pemimpin bangsa ini, sebagaimana mestinya seorang pemimpin mensejahterahkan rakyatnya dengan naturalitasnya bukan karena pencitraan dirinya saja. Rakyat akan merasakan kesejahteraan dari pemimpinnya. Disisi lain, ayat tentang tersenyum dan tertawa ini menarik jika dielaborasi lebih lanjut. Ekspresi senyum dan tertawa adalah dari fungsi  aktivitas otak kanan. Otak kanan memiliki peran yang lebih ringan, kreatif, inovatif.

Menjadi pemimpin sejati, ia harus mampu mengkombinasikan kecerdasan yang dimiliki oleh otak kanan dan otak kirinya. Bukan berjalan tidak seimbang. Kedua belahan ini akan berjalan selaras dengan apa yang dilakukan seorang pemimpin. Kita refleksikan kisah Nabi Sulaiman dari pesta demokrasi yang saat ini kursi kekuasaan diperebutkan oleh para pemimpin yang naturalitas atau para pemimipin imagologi.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Gamais Faperta UNSOED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger